satunusanet.com – Pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing akan memperpanjang status darurat di negara itu selama enam bulan berikutnya, menurut media pemerintah, Senin (01/08/2022).
Global New Light of Myanmar melaporkan perpanjangan itu telah mendapat izin dari dewan pertahanan dan keamanan junta. Junta Myanmar pertama kali menetapkan keadaan darurat setelah merebut kekuasaan melalui kudeta dari pemerintah terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi pada Februari tahun lalu.
Menurut media resmi tersebut, para anggota dewan dengan suara bulat mendukung perpanjangan itu. “Di negara kita, kita harus terus memperkuat ‘sistem demokrasi multi-partai sejati dan berdisiplin’ yang menjadi keinginan rakyat,” kata harian itu, mengutip perkataan Min Aung Hlaing.
Negara di Asia Tenggara itu telah berada dalam kekacauan sejak kudeta. Konflik menyebar ke seluruh negeri setelah tentara bertindak tegas terhadap protes yang digelar di berbagai kota. Junta mengatakan pihaknya mengambil alih kekuasaan karena kecurangan dalam pemilihan umum pada November 2020.
Pemilu itu dimenangkan dengan mudah oleh partai Aung San Suu Kyi, seorang penerima Hadiah Nobel Perdamaian. Kelompok-kelompok pemantau mengatakan mereka tidak menemukan bukti adanya kecurangan massal.
Militer telah berjanji untuk menggelar pemilihan baru pada Agustus 2023, meski kelompok oposisi tidak percaya pemilu itu akan berlangsung bebas dan jujur.
Empat aktivis demokrasi dieksekusi junta militer
Sementara itu, lima perwakilan negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR) mengutuk keras eksekusi mati empat aktivis demokrasi oleh militer Myanmar.
Pernyataan tersebut dirilis oleh lima perwakilan negara ASEAN di AICHR yaitu Aishah Bidin (Malaysia), Yuyun Wahyuningrum (Indonesia), Aileen S Mendiola-Rau (Filipina), Shashi Jayakumar (Singapura), Amara Pongsapich (Thailand) pada Minggu (31/7).
“Kami mengulangi pernyataan Ketua ASEAN pada 25 Juli 2022 bahwa eksekusi ini menandakan kemunduran dan tidak adanya kemauan politik dari otoritas militer Myanmar untuk secara serius menerapkan Konsensus Lima Poin ASEAN,” demikian keterangan itu.
Oleh karena itu, lima negara tersebut meminta otoritas militer Myanmar untuk sepenuhnya menerapkan Konsensus Lima Poin secara tulus dan cepat.
Mereka juga mendesak otoritas militer Myanmar untuk segera menghentikan semua tindakan kekerasan, menahan diri dari eksekusi sewenang-wenang selanjutnya, serta membebaskan semua tahanan politik dan mereka yang ditahan secara sewenang-wenang.
Militer Myanmar juga didorong untuk terlibat dalam dialog konstruktif semua pihak untuk mencari solusi damai dan segera guna mengembalikan demokrasi, serta memastikan perlindungan HAM dan kebebasan dasar di negara itu.
Pada Senin (25/7), militer Myanmar yang berkuasa mengumumkan bahwa mereka telah mengeksekusi empat aktivis oposisi yang dituduh membantu “aksi teror”.
Mantan legislator Phyo Zeya Thaw, serta aktivis demokrasi Kyaw Min Yu, Aung Thura Zaw, dan Hla Myo dijatuhi hukuman mati dalam persidangan rahasia pada Januari dan April.
Keempat pegiat itu dituduh membantu gerakan perlawanan sipil yang telah memerangi militer sejak kudeta tahun lalu dan tindakan keras berdarah terhadap protes nasional.
Eksekusi pertama yang dilakukan Myanmar dalam beberapa dekade itu memicu kecaman internasional dan ancaman sanksi dari Amerika Serikat.